Keren

Keren. Ke-ren.
[a] (1) tampak gagah dan tangkas; (2) galak; garang; lekas marah; (3) lekas berlari cepat (tt kuda); (4) perlente (berpakaian bagus, berdandan rapi, dsb)

KamusBahasaIndonesia.org

Maafin ketidak pedean gue dalam melakukan hal apapun. Setelah posting ini, ada temen yang komentar “Anjrit! Keren! Dan loe bilang loe gak keren?”. Damn no! Gue gak ngerasa keren sama sekali, gue ngerasa postingan itu justru belibet dan gak gampang dibaca orang kecuali gue sendiri.

Melanjutkan komentar tersebut. Menurut gue label “keren” itu kayak “brand image”. Sebuah brand boleh banget berusaha bikin sebuah standard, bagaimana brand mereka (akan) tampak keren di depan konsumen. Tetep aja ujung-ujungnya brand image itu lahir dari persepsi atau apa yang diterima pihak konsumen, yang seringkali meleset dari perencanaan awal brand tersebut.

Nah sama halnya kayak label “keren”. Coba sekarang lo ngaca dan bilang “Ih gue keren banget ya”. Gue jamin, pasti muncul rasa geli sama diri sendiri. Bahkan jijik. Kadang diikuti dengen ekspresi “eeeyuuuuuhhh”.

Cek ke dokter kalo gak ngerasa geli sama sekali 😀

Mudah-mudahan setuju kalo gue simpulkan sebagai berikut: Gak usah maksain jadi keren, ikhlasin aja, kalo orang nganggep lo keren, ya itu baru keren.

Back At Work!

Sudah cukup lama tidak post di blog ini. Kenapa? Ya  jujur aja, kepingin ditutup sayang, kepingin diisi, suka bingung. Tapi kebanyakan karena 3 bulan ini lagi ngerjain sesuatu yang baru.

Iya. Andira kembali bekerja kantoran. Terakhir kali kerja kantoran bisa dibilang 10 tahun lebih yang lalu. Kerja jadi penyiar tidak dihitung ya, ini kerjaan “9 to 5”, bukan band, tapi dari jam 9 sampe jam 5…well jam 6 sih tepatnya.

Kok gak siaran lagi ndor? Sebenernya sih masih suka kangen, tapi kali ini saya ingin menyelami profesi sebagai desain grafis. Rolenya? Creative Director. Nama tempat kerjanya? UnionSPACE. Sebuah co-working space. Nanti lain kali saya cerita lebih banyak soal pekerjaan ini. YouTube gimana? Sama nasibnya. Udah lama nggak bikin konten. Tapi sabar aja, saya masih tetep bikin konten buat kantor ini, juga bikin workshop sama Shani Budi dan Ario Pratomo. Berbagi ilmu tentang content creating.

Nah, ini adalah salah satu yang saya kerjain (ini juga karena di kantor belum um ada motion graphic artist). What do you think?

She turns 10

This baby girl turns 10!

Udah bisa protes kalo masih ada yang mispronounce namanya. Isla tulisannya, Ayla dibaca ya, gitu jelasnya.

Someday when you find this post, just remember that we, Ibu dan Abi, always try our best to be there for you. We love you kiddo. Forever and a day.

Happiest 10th birthday. Be stronger, be wiser, be smarter, stay goofy yet classy.

Maafin kami yang suka ngomel, itu karena kami sayang sama kamu. (You probably heard this a lot already).

[Update] podcast about Isla https://anchor.fm/andiraa/episodes/abe7d0

Sebuah Penyesalan?

Kena tulah nih gue. Siapa sih yang nggak tau mantra “Mending nyesel beli, daripada nyesel nggak beli”? Itu adalah mantra yang sering digunakan ketika kita berhadapan langsung dengan sebuak benda yang membuat lo berpikir lama “beli? Jangan? Beli? Jangan?”. Ketika kepala kita dipenuhi banyak justifikasi yang membenarkan keadaan dan mendorong kita untuk membeli barang tersebut. Kalo beli, takut nyesel gak kepake. Tapi kalo nggak beli, takut nyesel melewatkan kesempatan.

Mending nyesel beli, dari pada nyesel nggak beli

Sebagai contoh, mungkin yang doyan sama sneakers tau betul situasi berikut ini. Kita lagi jalan-jalan ke luar negeri. Padahal waktu berangkat dari Jakarta, kita nggak berniat untuk beli sepatu. Tiba-tiba, jreng, dengan misteriusnya kita berada di dalam took sepatu. Kemudian tangan ini mulai mengambil sepasang sepatu yang baru rilis, kemudian meminta size kita untuk dicoba, kemudian di foto. “Bagus juga ya, eh tapi kan gue gak nyari sepatu. Tapi di Jakarta ini nggak ada”. Nggak lama kemudian, keluar toko bawa kantongan.

Yes. Mending nyesel beli, dari pada nyesel nggak beli. Karena kalo beli, terus gak kepake, at least bisa dijual lagi. Siapa yang pernah beli sepatu dengan justifikasi seperti itu? Angkat tangannya. Apa jadinya misalnya kita memutuskan untuk nggak beli, dan langsung pulang.

Tau gitu kemaren gue beli ya. Nyesel gue.

Amit-amit jangan sampe. Namanya juga penyesalan, datengnya belakangan. Kayak yang kejadian sama gue baru-baru ini. Inget waktu kemaren gue hands on HP Ultrabook Spectre X 360? Nah, beberapa minggu kemudian, gue masih kepikiran tuh segala macem kecanggihannya. Ditambah lagi justifikasi bahwa gue lagi perlu banget yang namanya laptop yang mumpuni buat ngedit dalam keadaan mobile, spec canggih tapi bentuknya gak malu-maluin. Operating System? Gue udah gak terlalu masalah switching back and forth ke windows. Karena Microsoft Windows 10 sekarang, sudah jauh lebih intuitive dan user interfacenya juga jauh membaik. Semua aplikasi keseharian yang gue perluin seperti Microsoft Office dan Adobe berjalan tanpa masalah.

Lucunya ketika kita sudah membulatkan keputusan untuk membeli sesuatu, apalagi yang harganya tidak tergolong murah, pasti ada saja alasan yang menahan kita untuk tidak melakukan pembelian. Namun, kalo dipikir lagi, ada satu hal terakhir yang bisa “menenangkan” kita dalam mengambil keputusan. “Seal of approval” atau bahasa marketingnya “jaminan mutu”.

Tunggu sebentar. Apa sih yang kita cari dari sebuah laptop?

Fungsinya? Desainnya? Fiturnya? Harganya? Sudah pasti gabungan dari itu semua. Tetapi ketika ditambah satu faktor lagi, yaitu merk yang sudah familiar dan punya sejarah panjang, maka keraguan semakin tipis, iya? Tidak? Hampir yakin nih gue untuk menghadiahi diri sendiri sebuah laptop yang kece. Ya minimal kayak HP Ultrabook Spectre X 360 lah. Amin.

Buat kerja kok, ya main juga lah. Apapun alasannya. Coba gue pasang dulu gambarnya di bawah. Ada bocoran harganya, biar setiap kali gue baca postingan blog yang satu ini, gue tau harus menyisihkan uang berapa. Ya Tuhan, cairkan lah invoice kami, tepat pada waktunya.

Aku Pendidik

“Semua orang itu secara langsung atau tidak langsung adalah pendidik” begitu kurang lebih kata Najeela Shihab. Seseorang yang sungguh sangat aktif di dunia pendidikan Indonesia.

Banyak benarnya. Di luar pengalaman gue mengajar sebagai dosen kontrakan di First Media Design School (bukan First Media yg tv itu ya). Gue sempet ngajar desain selama 1 tahun di sana, 4 mata kuliah. One of the best years. Sekarang udah gak ada kampusnya.

Banyak benarnya, bahwa memang yang namanya mengajar dan mendidik itu tidak selalu ada kelas, buku absen dan papan tulis. Apalagi sekarang medium untuk berkomunikasi sudah semakin banyak. Dari buku, radio, Twitter, blog, sampai dengan YouTube. Media sesimpel Meme di Twitter dan Facebook, apabila digunakan dengan cermat, bisa menjadi format mengajar yang asik, memberikan contoh yang baik. Misalnya iklan layanan masyarakat yang bersifat lucu-lucuan.

Dua “iklan layanan masyarakat” di atas gue buat waktu lagi rajin-rajinnya sepedaan. Pesannya ringan, tapi “ada benarnya”.

Benar adanya, apabila kita menghargai pengetahuan dan passion kita, dan kita berbagi, makan secara tidak langsung kita sudah bisa dianggap pengajar. Hal sesimpel apa yang dilakukan temen-temen beauty blogger dan travel blogger seperti Muhammad Arif Rahman alias @arievrahman (di blognya arievrahman) adalah bentuk media pembelajaran juga.

YouTube lebih dari TV?

Sudah lupa dengan format Televisi Pendidikan Indonesia? Kalo inget, kamu  d sudah cukup berumur. Format yang jauh lebih segar adalah video via YouTube. Semakin mudah membuat konten, apabila digunakan dengan benar untuk menyampaikan sesuatu yg berguna apalagi positif, maka YouTube sudah menjadi media pendidikan yang sungguh seru dan efektif. Gue tau ini karena gue sendiri belajar banyak hal dari sana; belajar bikin video, menjahit, matematika (karena harus belajar bagaimana mengajar anak lebih seru), dan masih banyak lainnya.

Dan setelah dilihat-lihat, tidak sedikit konten di channel gue, yang sarat akan informasi dan “how to” Yang ternyata berguna buat orang lain (menyimpulkan dari comment yang di dapat).

Intinya adalah, alangkah baik kalo kita bisa berbagi pengetahuan kita. Dan kita juga akan belajar banyak dari proses tersebut. Pilih ilmu yang mau dibagi, pilih cara komunikasi yang seru, cari media yang paling cocok.

Dengan mengajar, kita juga belajar

Bikin video tutorial di YouTube, kultwit di Twitter (diawali dengan Bismillah), memberikan informasi via radio atau podcast, berbagi cerita pengalaman lewat blog, banyak banget caranya untuk ikut serta dalam dunia Pendidikan. Coba awali dengan datang ke Pekan Pendidikan di Kalijodo.

Selamat Hari Pendidikan, Indonesia. Sekalian ijinkan gue memperkenalkan “Ulah si Rubah” seekor Rubah yang sok tau tapi kadang ada benarnya. Like, Comment and Subscribe. Share ke temen2nya. Kritik dan saran juga diterima dengan baik.

#AkuPendidik #PestaPendidikan

Piece of her mind

Some of you may already know, that my wife, Deasy Will be taking her master course in Ewha University, Seoul. But I’m sure not everyone sits on the same page as her thoughts, especially her friends. The risks she’s willing to take, the chance she had to take, and all the years she spent which lead to this opportunity, is beyond what she imagined at the first place. Below is her own words, thoughts which rarely be written in such media. I post it here for you to read, so you could understand her point of view better.

Pada akhirnya, pengalaman, harus diamalkan. Jangan lupa.

—-

Jakarta, March 24, 2017. On her facebook she posted this.

#todaythought #harikartini

Share something that you ❤️it most. 
When I first decided to pursue a graduate study, some will ask me : Why are you going to South Korea and on top of that, why to an ALL WOMAN university ? And the follow up questions will be as far as ‘your a married women, is it ok with your spouse ? ‘How about your daughter ? ‘How is your family? ‘Even a few will ask ‘its just one of those feminist of yours right ? ‘So no men is allowed in the school area ?’.
Usually I will just smile.

Apparently in this modern era the idea of a late 30s married woman going back to school and studying is too hard too comprehend by some.

Women are used to be ‘deemed’ good or ‘worthy’ when she is able to bear a child, manage her husband, posess an excellent cooking skill, or great doing a house chores. No need to go for a higher education. At time goes by, this view somewhat evolved altho the main issue remain. Sometimes debate will emerge within the fellow women. 

Personally, for me essential of women empowerment is the ability to have a choice and choose. Having a successful career doesn’t make you any more superior than a housewife. Being a stay home mom doesn’t make you a better one than a working mom. To have someone else’s cook for your family doesn’t make you any less of a woman . And a relationship status doesn’t define us as a woman human being.

Women should be able to make her own choice without being judged as a good woman or not. Whether we agree with her choice/view or not, we at least have to respect it. Being a woman judged by the society is already hard enough without us, fellow woman, making it more difficult.

Let’s go hand in hand for empowered Indonesian women in the near future, cheers !❤️

Kalian semua suci, aku penuh dengan dosa

Untuk pertama kalinya, selesai sholat Jum’at gue menghampiri Ustadz yang kasih ceramah di mesjid deket rumah, dan mengucapkan terima kasih untuk Khotbahnya yang keren. Khotbahnya sungguh sangat simpel, tapi gue mendengarkan dengan penuh hati.  Khotbah Jum’at kali ini sungguh sangat anti-mainstream. Kenapa anti-mainstream?

Khotbah kali ini sama sekali gak ngomongin soal penistaan agama ataupun Pilkada.

Ya memang sih rumah gue daerah Tangerang Selatan, tapi Jum’at sebelumnya pastilah menyinggung kalo gak kofar kafir, penistaan agama, Pilkada, perbedaan etnis, dan hal lainnya yang lagi sering disuarakan penceramah. Gue mencari pencerahan di setiap khotbah. Gue butuh khotbah yang bisa bikin gue mikir banyak untuk memperbaiki agama gue sendiri, kalo orang lain terserah lah, gue hanya bisa mengingatkan gak bisa memaksa (kayak yang paling bener aja).

Khotbah tadi disampaikan dengan tenang, tidak teriak-teriak sampe merusak pita suara atau sound system mesjid. Apalagi sampe emosi dan dengan nada marah. Bahkan lebih terdengar sebagai orasi ketimbang ceramah.

Khotbah tadi poinnya sangat jelas. Bagaimana kita bisa memperbaiki diri sendiri, sesuai dengan kemampuan diri masing-masing. Belajar beribadah tepat pada waktunya, megucapkan kalimat yang tepat pada waktunya, dan membaca Al Quran…walau 1 ayat per hari. Tidak dipaksa meniru contoh Rasulullah yang jelas nyaris sempurna. Sesuai kemampuan diri sendiri, penting itu.

Khotbah tadi nggak nakut-nakutin. Tau dong, khotbah yang nakut-nakutin? Yang disebut terus menerus adalah “dosa”, “haram”, dan “neraka”. Hal tersebut, terutama buat anak kecil menumbuhkan rasa takut (menurut gue ya). Khotbah tadi, lebih banyak menunjukkan hal simpel untuk meraih “pahala”, “apa yang baik” dan “surga”. Kan enak dengernya, pulang dengan alis naik, bukan merengut karena merasa dosa.

Ada khotbah yang bikin kita ngerasa “Kalian semua suci, aku penuh dengan dosa”

Intinya sih, terima kasih atas khotbahnya yang memberikan gue pencerahan untuk bergerak untuk menjadi umat yang lebih baik sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Karena agama adalah kepercayaan, kalo sampe nakut-nakutin melulu, gimana orang mau seneng jalaninnya? Tapi ini gue, pasti ada yang gak setuju, gak papa. Itulah indahnya perbedaan, ijinkan saya menjalankan kepercayaan saya.

Confession of A So-Called-Vlogger

We all make some lame excuses in our life. This is my turn.

November 2016, akan menandakan setahun gue sudah “nyemplung” serius di dunia personal video-an ini. Sebelumnya memang sudah ada video tentang tugas sekolah, dan tentang kelahiran Isla, tapi kalo intens, ya sejak “vlogvember” tahun 2015.  Awalnya simpel, gue shoot apa yang terjadi hari itu, editing, langsung upload. Lama kelamaan, ke”be’eman” bertambah. Musiknya harus pas, nambahin timelapse/slowmotion, grading gambarnya makan waktu, belum lagi waktu itu sempet ngeluangin waktu untuk nambahin animasi. Rasanya, 4 jam editing, untuk daily vlog, sudah terlalu berlebihan. Belum lagi yang namanya “inconsistency”.

Inconsistency has always been my arch-enemy

Kadang gue posting 3 kali seminggu. Pernah juga sehari sekali. Pernah juga 1 bulan sekali. “Tidak konsisten” merupakah musuh besar gue udah lama. Tapi kali ini bukan itu masalahnya. Masalah kali ini cukup simpel. Masalah tersebut adalah penggabungan dari hal-hal di bawah ini:

  • Masih banyak footage Korea yang belom gue edit, karena
  • Alhamdulillah minggu lalu waktunya habis ngurusin konser Glenn Fredly (kerjaan), juga kerjaan lainnya
  • Dapet pinjeman PS4, jadi waktu editing, gue pake untuk maen PS4
  • Adek ipar gue baru saja melahirkan, dan gue punya keponakan baru!
  • Oper2an sakit tenggorokan dan flu di rumah (pernah ngerasain tiap kali batuk semua otot ketarik? nah that kind of sickness)
  • Ngurusin HelloFest dan Ideafest
  • Ngatur ulang strategi #andirdor, foto2 buat profil baru, dan juga save as tv bersama @shanibudi

Those are the (lame) excuses. Sebagian besar sudah lewat. Kalo sudah, mari kita upload-upload lagi. Jangan khawatir, gue belum berhenti bikin video, karena sejauh ini gue masih menggunakan video untuk menjadi media diary buat hidup gue, dan juga tempat mengasah kreativitas.

Emang bener kata almarhum bokap.

Ketika kamu ngerasa ribet, tulis aja apa yang bikin ribet. Insya Allah jadi gak terlalu ribet.

Cabe keriting, Kol dan Wortel tanpa Daun #KarenaRadio

Selamat Hari Radio Nasional.

Gak sengaja ngeliat hashtag #KarenaRadio di twitter, gue tiba-tiba jadi kepingin bersyukur sedikit, terutama tentang hidup gue yang bersinggungan dengan radio. Mungkin sebagian besar ada yang kenal gue waktu siaran di Good Morning Hardrockers Show di Hardrock FM, atau mungkin lebih jauh dari itu. Postingan ini juga bertujuan untuk melatih memori gue tentang tumbuh-kembang gue di dunia radio (yes, ini buat lo ndir, di kemudian hari semisalnya lupa kalo lo pernah jadi penyiar).

Read More